
Hukum Saham dalam Islam: Halal atau Haram? Ini Penjelasannya
Di era digital saat ini, investasi saham menjadi salah satu instrumen yang paling diminati oleh masyarakat luas untuk mengembangkan aset keuangan mereka. Kemudahan akses melalui platform online dan potensi keuntungan yang menarik membuat banyak orang, termasuk umat Muslim, melirik pasar modal. Namun, seiring dengan meningkatnya minat tersebut, muncul satu pertanyaan mendasar dan krusial: bagaimana hukum saham dalam Islam? Apakah aktivitas jual beli saham ini diperbolehkan (sesuai dengan prinsip syariah) atau justru dilarang (tidak sesuai dengan prinsip syariah)?
Kekhawatiran ini sangat wajar, mengingat sebagai seorang Muslim, setiap aspek kehidupan, termasuk dalam hal transaksi ekonomi, harus selaras dengan prinsip syariah. Anggapan bahwa investasi saham identik dengan judi (maysir) atau mengandung unsur ketidakpastian (gharar) dan bunga (riba) masih sering terdengar. Artikel ini akan mengupas tuntas status hukum investasi saham dalam pandangan Islam, mulai dari konsep dasarnya, kriteria halal dan haram, hingga landasan dalil dan fatwa yang menjadi pedoman.
Memahami Konsep Dasar Saham dari Perspektif Islam
Sebelum melangkah lebih jauh ke dalam analisis hukumnya, penting bagi kita untuk memahami apa itu saham. Secara sederhana, saham adalah bukti kepemilikan dari sebuah perusahaan. Ketika Anda membeli saham sebuah perusahaan, pada hakikatnya Anda sedang membeli sebagian kecil dari perusahaan tersebut. Anda menjadi salah satu pemiliknya, meskipun dalam porsi yang sangat kecil, dan berhak atas bagian keuntungan perusahaan yang disebut dividen.
Dari kacamata fikih muamalah, konsep ini sangat sejalan dengan prinsip penyertaan modal atau kemitraan yang dikenal sebagai syirkah atau musyarakah. Dalam syirkah, dua pihak atau lebih berkumpul untuk menyatukan modal dan keahlian guna menjalankan sebuah usaha, dengan pembagian keuntungan dan kerugian berdasarkan kesepakatan. Kepemilikan saham pada dasarnya adalah bentuk modern dari syirkah, di mana investor (pemegang saham) menyetorkan modal kepada perusahaan untuk dikelola oleh manajemen.
Prinsip dasar perdagangan dan kemitraan ini secara tegas dihalalkan dalam Islam, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran:
"...Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..." (QS. Al-Baqarah: 275).
Berdasarkan ayat ini, pada dasarnya (secara ushul), aktivitas jual beli saham adalah sesuatu yang diperbolehkan atau mubah. Namun, kehalalan ini tidak bersifat mutlak. Ia menjadi bersyarat, tergantung pada dua faktor utama: jenis usaha perusahaan yang menerbitkan saham dan cara perusahaan tersebut mengelola keuangannya.
Kriteria Utama Penentu Hukum Saham
Status hukum saham dalam Islam tidak bisa dipukul rata untuk semua jenis saham. Sebuah saham bisa sesuai dengan syariah, dan saham lainnya bisa tidak sesuai syariah. Penilaian ini bergantung pada proses penyaringan atau screening syariah yang ketat. Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), melalui Fatwa No. 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal, telah menetapkan pedoman umum yang kemudian menjadi dasar bagi kriteria penyaringan saham. Secara umum, ada dua lapisan filter utama yang harus dilewati.
-
Penyaringan Kegiatan Usaha (Business Screening)
Kriteria pertama dan paling fundamental adalah jenis bisnis yang dijalankan oleh perusahaan tersebut. Islam mengajarkan bahwa modal tidak boleh digunakan untuk mendukung aktivitas yang dilarang (haram). Oleh karena itu, saham dari sebuah perusahaan akan dianggap bertentangan dengan prinsip syariah jika kegiatan utamanya bergerak di bidang:
-
Perjudian dan Permainan yang Tergolong Judi (Maysir)
Setiap perusahaan yang bisnis intinya adalah perjudian, seperti kasino, lotre, atau taruhan, secara otomatis sahamnya haram untuk dimiliki. Prinsip ini didasarkan pada larangan tegas terhadap maysir yang dapat merusak individu dan tatanan sosial.
-
Perdagangan yang Dilarang Menurut Syariah
Ini mencakup perdagangan dengan penawaran atau permintaan palsu (najsy), atau kegiatan perdagangan lain yang mengandung unsur ketidakpastian yang berlebihan (gharar). Perusahaan yang bisnisnya didasarkan pada spekulasi murni tanpa aset riil yang mendasari juga termasuk dalam kategori ini.
-
Jasa Keuangan Berbasis Bunga (Riba)
Saham dari lembaga keuangan konvensional seperti bank, perusahaan pembiayaan, atau asuransi konvensional dianggap tidak syariah. Hal ini karena operasional utama mereka bergantung pada sistem bunga (riba), yang secara eksplisit diharamkan dalam Al-Quran.
-
Produksi, Distribusi, dan Perdagangan Barang Haram
Perusahaan yang memproduksi, mendistribusikan, atau memperdagangkan barang-barang yang haram zatnya, seperti minuman keras (alkohol), daging babi, narkotika, dan produk non-halal lainnya, maka sahamnya tidak boleh dimiliki oleh seorang Muslim.
-
Menyediakan Jasa atau Barang yang Merusak Moral (Mudarat)
Ini adalah kategori yang lebih luas, mencakup perusahaan yang bisnisnya bergerak di bidang pornografi, hiburan malam yang tidak sesuai syariah, media yang menyebarkan kebohongan, atau industri lain yang pada dasarnya bertentangan dengan akhlak Islam.
Jika sebuah perusahaan lolos dari penyaringan pertama ini, artinya bisnis utamanya sesuai dengan prinsip syariah (misalnya, perusahaan telekomunikasi, makanan halal, properti, teknologi, energi), maka kita bisa melangkah ke tahap penyaringan kedua.
-
-
Penyaringan Aspek Keuangan (Financial Ratio Screening)
Pada kenyataannya, sulit menemukan perusahaan publik yang 100% murni terbebas dari unsur non-syariah dalam struktur keuangannya di tengah sistem ekonomi konvensional saat ini. Misalnya, sebuah perusahaan makanan halal mungkin saja menyimpan sebagian dananya di bank konvensional atau memiliki utang berbasis bunga untuk ekspansi.
Untuk mengatasi hal ini, para ulama menetapkan batasan toleransi (threshold). Di Indonesia, kriteria ini ditetapkan oleh DSN-MUI dan kemudian diformalkan ke dalam peraturan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Secara spesifik, kriteria penyaringan keuangan ini tertuang dalam Peraturan OJK No. 8 Tahun 2025 tentang Penerbitan Daftar Efek Syariah dan Daftar Efek Syariah Luar Negeri. Peraturan ini menjadi acuan resmi dalam menyeleksi saham-saham yang masuk ke dalam Daftar Efek Syariah (DES). Kriteria tersebut meliputi:
-
Rasio Utang Berbasis Bunga terhadap Total Aset
Total utang yang berbasis bunga tidak boleh melebihi 45% dari total aset perusahaan. Angka ini ditetapkan untuk memastikan bahwa perusahaan tidak terlalu bergantung pada pendanaan berbasis riba yang dapat mendominasi struktur modalnya.
-
Rasio Pendapatan Bunga dan Pendapatan Non-Halal Lainnya terhadap Total Pendapatan
Total pendapatan bunga dan pendapatan non-halal lainnya (seperti pendapatan dari denda keterlambatan yang berbasis bunga) tidak boleh lebih dari 5% dari total pendapatan usaha (revenue) dan pendapatan lain-lain. Batasan ini bertujuan untuk memastikan bahwa sumber utama pendapatan perusahaan berasal dari kegiatan bisnis yang halal.
Sebuah saham yang berhasil lolos dari kedua jenis penyaringan inilah yang kemudian aman untuk diinvestasikan oleh umat Muslim.
-
Baca Juga : Apa itu Saham Syariah? Ketahui Keuntungan dan Risikonya
Landasan Fatwa DSN-MUI tentang Saham
Untuk memberikan kepastian hukum dan pedoman yang jelas bagi umat Muslim di Indonesia, Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah mengeluarkan fatwa terkait investasi di pasar modal. Salah satu fatwa utamanya adalah Fatwa DSN-MUI No: 80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek.
Fatwa ini secara garis besar menyatakan bahwa melakukan transaksi jual beli saham di bursa efek diperbolehkan (mubah) selama memenuhi prinsip-prinsip syariah. Beberapa poin penting dari fatwa tersebut antara lain:
-
Objek Saham: Saham yang diperjualbelikan harus berasal dari perusahaan yang kegiatan usaha dan pengelolaannya tidak bertentangan dengan prinsip syariah, sebagaimana yang telah dijelaskan pada kriteria di atas.
-
Mekanisme Transaksi: Transaksi saham tidak boleh mengandung unsur-unsur yang dilarang, seperti tadlis (penipuan), gharar (ketidakpastian yang berlebihan), riba (bunga), maysir (judi), dan praktik spekulasi lainnya.
-
Larangan Short Selling: Fatwa ini secara khusus melarang praktik jual kosong atau short selling, di mana seorang investor menjual saham yang tidak dimilikinya dengan harapan dapat membelinya kembali di harga yang lebih rendah. Praktik ini mengandung unsur gharar yang sangat tinggi.
Adanya fatwa ini memberikan legitimasi dan rasa aman bagi investor Muslim. Ini menegaskan bahwa selama kita memilih saham yang sesuai dan bertransaksi dengan cara yang benar, maka investasi saham adalah aktivitas muamalah yang halal dan bahkan dianjurkan untuk pengembangan ekonomi umat.
Baca Juga : Apa Itu Gharar Serta Dampaknya Terhadap Ekonomi Islam?
Bagaimana Cara Menemukan dan Memulai Investasi Saham Syariah?
Setelah memahami hukum saham dalam Islam dan kriterianya, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara praktis untuk memulai? Untungnya, saat ini prosesnya sudah sangat mudah. Bursa Efek Indonesia (BEI) telah memfasilitasi investor Muslim dengan menyediakan daftar saham yang telah lolos proses screening syariah.
Daftar ini dikenal sebagai Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI), yang mencakup seluruh saham syariah yang tercatat di BEI. Selain itu, terdapat indeks syariah lain yang dapat dijadikan acuan seperti Jakarta Islamic Index (JII) yang terdiri dari 30 saham syariah paling likuid dan JII70 yang terdiri dari 70 saham syariah paling likuid. Investor dapat menggunakan daftar ini sebagai panduan utama dalam memilih saham.
Langkah-langkah untuk memulainya adalah:
-
Buka Rekening Dana Nasabah (RDN) Syariah: Pilihlah perusahaan sekuritas yang menyediakan layanan SOTS (Sharia Online Trading System). Sistem ini secara otomatis akan memfilter dan hanya menampilkan saham-saham yang masuk dalam kategori syariah, sehingga Anda terhindar dari membeli saham non-halal secara tidak sengaja.
-
Pelajari Analisis Fundamental dan Teknikal: Meskipun sahamnya sudah sesuai dengan prinsip syariah, keputusan investasi tetap harus didasarkan pada analisis yang matang. Pelajari kondisi fundamental perusahaan (kesehatan keuangan, prospek bisnis) dan analisis teknikal (pergerakan harga saham) untuk membuat keputusan investasi yang cerdas.
-
Diversifikasi Portofolio: Jangan menempatkan semua dana Anda pada satu saham. Sebarkan investasi Anda ke beberapa saham syariah dari sektor yang berbeda untuk memitigasi risiko.
Baca Juga : Kenali Profil Risiko Sebelum Anda Berinvestasi
Jadi, menjawab pertanyaan utama: apakah saham itu halal atau haram? Jawabannya adalah tergantung. Hukum asal saham adalah halal (mubah) karena merupakan bentuk penyertaan modal (syirkah). Namun, kehalalannya menjadi bersyarat, bergantung pada jenis usaha dan kondisi keuangan perusahaan penerbit saham tersebut.
Saham sesuai dengan prinsip syariah jika perusahaan menjalankan bisnis yang sesuai syariah dan memenuhi kriteria rasio keuangan yang ditetapkan oleh DSN-MUI dan OJK. Sebaliknya, saham menjadi bertentangan dengan prinsip syariah jika bisnis utamanya bergerak di bidang yang dilarang Islam (judi, riba, alkohol, dll.) atau jika porsi utang dan pendapatan non-halalnya melebihi ambang batas toleransi.
Dengan adanya panduan yang jelas dari DSN-MUI dan fasilitas seperti Indeks Saham Syariah di BEI, umat Muslim kini dapat berinvestasi di pasar modal dengan lebih tenang dan aman. Kuncinya adalah membekali diri dengan ilmu, melakukan uji tuntas (due diligence) terhadap setiap saham yang akan dibeli, dan memastikan seluruh proses investasi berjalan sesuai dengan prinsip syariah.
Sumber :