What can we help you with?
Cancel
lelaki sedang check keuangan

Inklusi Keuangan Syariah Stagnan di 13%: Apa Saja Hambatannya?

Industri keuangan syariah di Indonesia terus berupaya memperluas jangkauannya. Namun, di tengah meningkatnya kesadaran publik, satu fakta yang patut menjadi perhatian adalah rendahnya tingkat inklusi keuangan syariah. Data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per 3 Mei 2025 menyebutkan bahwa inklusi keuangan syariah atau penggunaan aktual layanan syariah stagnan di angka 13%. Angka ini menunjukkan adanya kesenjangan signifikan antara tingkat literasi (pengetahuan) masyarakat yang sudah cukup tinggi, dengan tingkat inklusi atau pemanfaatan produk syariah yang masih rendah. Artinya, meskipun masyarakat makin memahami konsep keuangan syariah, belum banyak yang benar-benar menggunakan layanan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Mengapa pemanfaatan layanan keuangan syariah belum mencapai potensi optimalnya, meskipun tingkat literasinya terus menunjukkan perbaikan? Artikel ini akan mengupas tuntas apa itu inklusi keuangan syariah, faktor-faktor yang menghambat penggunaan produk syariah, studi kasus perbandingan di berbagai wilayah, serta solusi inklusif yang dapat diterapkan untuk mendorong pemerataan ekonomi halal.

Apa Itu Inklusi Keuangan Syariah dan Mengapa Masih Rendah?

Inklusi keuangan syariah dapat diartikan sebagai situasi di mana semua segmen masyarakat memiliki akses yang mudah dan luas, serta secara aktif memanfaatkan beragam produk dan layanan finansial yang berlandaskan prinsip syariah. Hal Ini mencakup akses ke perbankan syariah, asuransi syariah, investasi syariah, pegadaian syariah, dan lain-lain. Tujuannya adalah agar setiap individu, termasuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan pelaku UMKM, dapat memanfaatkan layanan finansial untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Data terkini menunjukkan adanya gap yang mencolok antara literasi dan inklusi keuangan syariah. Data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) OJK 2025 menunjukkan bahwa tingkat literasi keuangan syariah di Indonesia sudah mencapai 43,42%. Angka ini tergolong cukup baik dan terus meningkat. Meski begitu, tingkat inklusi keuangan syariah justru bertahan di angka 13% yang menunjukkan belum adanya peningkatan yang berarti.

Artinya, dari masyarakat Indonesia, sekitar 30,01% memahami keuangan syariah namun belum memanfaatkannya secara nyata (43,42% untuk literasi, sementara 13,41% untuk inklusi nya berdasarkan SNLIK 2025). Perbedaan ini menunjukkan bahwa meskipun masyarakat sudah memiliki pemahaman, hal tersebut belum otomatis mendorong mereka untuk menggunakan layanan keuangan syariah. Sebagai perbandingan, berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tingkat inklusi keuangan konvensional tercatat sebesar 79,71% (menggunakan metode keberlanjutan) dan 92,61% (menggunakan metode cakupan DNKI). Perbedaan ini mengindikasikan adanya hambatan spesifik yang perlu diatasi untuk meningkatkan penetrasi keuangan syariah di tengah masyarakat, meskipun secara literasi telah menunjukkan peningkatan.

Faktor-Faktor yang Menghambat Penggunaan Produk Syariah

Meskipun kesadaran dan pengetahuan tentang keuangan syariah terus bertumbuh, ada beberapa faktor yang secara nyata menghambat penggunaan produk syariah oleh masyarakat:

  1. Akses Fisik yang Terbatas:

    • Jaringan Kantor Cabang/ATM: Jumlah kantor cabang bank syariah dan ketersediaan mesin ATM syariah belum tersebar merata, terutama di daerah pelosok yang jumlahnya sangat timpang apabila dibandingkan dengan bank konvensional.

    • Agen Laku Pandai Syariah: Jaringan agen bank tanpa kantor (branchless banking) yang berbasis syariah masih terbatas dibandingkan agen konvensional, sehingga menyulitkan transaksi dasar di daerah terpencil.

  2. Ketersediaan Produk yang Kurang Relevan atau Beragam:

    • Diversifikasi Produk: Di beberapa wilayah, variasi produk syariah yang tersedia mungkin belum cukup beragam atau belum sepenuhnya menjawab kebutuhan spesifik masyarakat lokal (misalnya, pembiayaan untuk sektor pertanian atau peternakan yang khas daerah).

    • Desain Produk: Ada persepsi bahwa produk syariah lebih kompleks atau memiliki persyaratan yang rumit, sehingga kurang menarik bagi masyarakat awam.

  3. Biaya atau Persyaratan yang Dianggap Memberatkan:

    • Masyarakat mungkin masih memiliki persepsi bahwa biaya administrasi atau persyaratan awal untuk membuka rekening/mengajukan pembiayaan syariah lebih tinggi atau lebih sulit dibandingkan konvensional.

    • Kurangnya informasi yang jelas mengenai kemudahan, transparansi, dan efisiensi produk syariah.

  4. Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) Lembaga Syariah:

    • Jumlah petugas bank atau asuransi syariah yang memiliki pemahaman mendalam dan kemampuan komunikasi yang baik untuk menjelaskan produk kepada masyarakat awam masih terbatas, terutama di luar kota besar.

    • Kurangnya tenaga pemasar yang proaktif menjangkau calon Peserta di daerah.

  5. Rendahnya Kepercayaan atau Miskonsepsi yang Bertahan:

    • Beberapa masyarakat masih beranggapan bahwa produk syariah "sama saja" dengan konvensional, hanya berbeda label.

    • Kurangnya kampanye yang efektif dalam membangun kepercayaan penuh dan mengikis miskonsepsi lama.

Mengatasi faktor-faktor ini memerlukan strategi yang terfokus dan berkelanjutan dari seluruh ekosistem ekonomi syariah. Salah satu solusinya adalah melalui pembiayaan mikro syariah yang dapat menjangkau pelaku UMKM dan masyarakat di daerah terpencil.

Studi Kasus: Perbandingan Kota dan Desa dalam Akses Layanan Syariah

Perbedaan akses dan penggunaan layanan keuangan syariah antara wilayah perkotaan dan pedesaan adalah cerminan nyata dari hambatan akses layanan syariah.

a. Kesenjangan Geografis yang Nyata:

Data terbaru dari Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2024 yang dirilis oleh OJK dan BPS secara khusus memetakan tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah berdasarkan wilayah domisili. Hasil survei ini mengonfirmasi bahwa kesenjangan nyata masih berlangsung dan membutuhkan intervensi strategis yang berbeda antar wilayah. Berikut adalah perbandingan data literasi dan inklusi keuangan syariah di wilayah perkotaan dan perdesaan:

    • Di wilayah perkotaanLiterasi syariah 45,27dan inklusi 14,73% menunjukkan bahwa meskipun pemahaman tentang layanan keuangan syariah di kota sudah relatif cukup baik, tetapi penggunaannya masih rendah.

      • Faktor pendukungnya termasuk:

        • Infrastruktur layanan keuangan syariah yang lebih lengkap (kantor cabang, agen, fintech).

        • Akses internet dan gadget yang mendukung transaksi digital.

        • Tingkat pendidikan dan penghasilan masyarakat yang umumnya lebih tinggi.

    • Di wilayah perdesaan: Literasi hanya 30,25% dan inklusi 10,20%, ini menggambarkan kesenjangan besar dibanding wilayah perkotaan.

      • Pemicu kesenjangan tersebut adalah:

        • Kurangnya akses fisik: kantor bank atau agen syariah sulit dijangkau.

        • Keterbatasan digital: koneksi internet dan akses perangkat digital masih lemah.

        • Minimnya edukasi langsung: sosialisasi belum merata, khususnya secara tatap muka.

b. Tantangan di Pedesaan:

    • Masyarakat pedesaan seringkali lebih mengandalkan praktik keuangan tradisional atau informal seperti rentenir, arisan, atau simpan pinjam antar tetangga. Hal ini dikarenakan akses ke lembaga keuangan formal, terutama syariah masih sangat terbatas.

    • Keterbatasan informasi yang relevan dan mudah dipahami

C. Peluang di Perkotaan:

    • Meskipun inklusi di kota lebih tinggi, masih banyak potensi pasar yang belum tergarap sepenuhnya di kalangan masyarakat perkotaan yang melek teknologi dan informasi. Fokus edukasi di kota bisa lebih mengarah pada diferensiasi produk dan nilai-nilai syariah yang mendalam.

Perbandingan ini menegaskan bahwa pendekatan yang seragam tidak akan efektif. Strategi harus disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan unik masing-masing wilayah untuk mencapai pemerataan inklusi keuangan syariah.

Solusi Inklusif: Teknologi, Edukasi, dan Kolaborasi Lintas Sektor

Guna menanggulangi tantangan yang dihadapi bank syariah dan lembaga keuangan syariah lain dalam memperluas inklusi, solusi inklusif dan multidimensional sangatlah dibutuhkan. Ini harus menjadi upaya kolektif yang berkesinambungan:

  1. Optimalisasi Teknologi dan Digitalisasi:

    • Peningkatan Layanan Digital: Mendorong pengembangan aplikasi mobile banking syariah, aplikasi keuangan syariah, serta platform investasi digital yang mudah digunakan dan aman.

    • Peran Fintech Syariah: Mendorong pertumbuhan fintech syariah untuk menyediakan solusi pembiayaan mikro, investasi, maupun perlindungan (proteksi) berbasis syariah dengan jangkauan yang lebih luas, khususnya bagi pelaku UMKM dan masyarakat di daerah terpencil.

    • Perluasan Akses Internet: Memperkuat infrastruktur internet di daerah pedesaan  mejadi langkah  utama agar masyarakat dapat mengakses layanan keuangan digital secara merata.

  2. Edukasi Berkesinambungan dan Relevan:

    • Program Edukasi Adaptif: Merancang program edukasi yang disesuaikan dengan demografi, budaya, dan kebutuhan spesifik masyarakat lokal. Materi harus disajikan dengan bahasa sederhana dan contoh kasus yang mudah dipahami.

    • Peran Tokoh Lokal: Menggandeng figur agama, pemimpin masyarakat, serta ketua komunitas untuk berperan sebagai pengajar terpercaya yang memiliki pengaruh di lingkungannya.

    • Optimalisasi Media: Memanfaatkan platform media sosial, podcast, dan konten video pendek untuk menyajikan edukasi yang menarik dan mudah dicerna secara visual.

  3. Sinergi Kuat Lintas Sektor:

    • Pemerintah (OJK, BI, KNEKS, Kementerian): Berfungsi sebagai regulator, perumus kebijakan pro-inklusi, dan penyedia insentif untuk mendorong lembaga keuangan syariah.

    • Lembaga Keuangan Syariah: Diperlukan inovasi produk yang lebih user-friendly dan perluasan jangkauan layanan melalui agen, kemitraan, serta optimalisasi kanal digital.

    • Komunitas dan Akademisi: Berperan dalam pendampingan UMKM, melakukan riset model inklusi yang efektif, dan mengembangkan kurikulum pendidikan terkait keuangan syariah.

    • Kemitraan dengan Sektor Swasta Lain: Membangun kolaborasi strategis dengan e-commerce halal, marketplace, atau sektor riil lainnya untuk menciptakan ekosistem syariah yang terintegrasi dan saling mendukung.

  4. Penyederhanaan Produk dan Prosedur:

    • Menyederhanakan proses pembukaan akun, pengajuan pembiayaan, dan transaksi. Transparansi biaya dan manfaat harus menjadi prioritas utama agar masyarakat tidak ragu dalam memanfaatkan layanan syariah.

Dengan mengimplementasikan pendekatan inklusif ini secara sinergis, kita dapat menjembatani gap penggunaan keuangan syariah dan mewujudkan cita-cita pemerataan ekonomi halal di seluruh daerah di Indonesia. Peningkatan inklusi keuangan syariah bukan hanya tentang angka, tapi tentang memberdayakan setiap individu untuk mencapai kemandirian dan kesejahteraan finansial yang berkah.