What can we help you with?
Cancel
5 Kesalahan Finansial

5 Kesalahan Finansial yang Harus Dihindari Menurut Ajaran Islam

Kesejahteraan finansial seringkali menjadi pilar yang terlupakan. Padahal, Islam menempatkan penjagaan harta (Hifz al-Mal) sebagai salah satu dari lima tujuan utama syariah (Maqashid al-Shariah). Artinya, mengelola keuangan dengan buruk bukan hanya masalah "rugi", melainkan sebuah kegagalan dalam menjaga amanah yang dapat merusak kesejahteraan holistik kita.

Baca Juga : Maqashid Syariah: Definisi dan Inti Pentingnya

Kondisi finansial yang kacau adalah sumber masalah yang mendalam. Stres akibat utang dan cicilan dapat memicu masalah kesehatan fisik dan mental yang nyata. Sulit untuk khusyuk beribadah (rohani) atau tenang menjalani hidup jika pikiran kita terus-menerus terbebani masalah keuangan.

Oleh karena itu, menghindari kesalahan finansial adalah sebuah keharusan. Berikut adalah lima kesalahan finansial paling berbahaya yang harus dihindari menurut ajaran Islam, didukung oleh dalil dan riset modern.

  1. Terjerat Riba yang Menyiksa Diri Sendiri

    Kesalahan finansial terbesar dan paling fatal dalam Islam adalah terlibat dalam riba. Riba bukan sekadar bunga, tapi sistem yang eksploitatif dan diharamkan dengan sangat keras. Riba termasuk dalam tujuh dosa besar yang membinasakan (al-muubiqaat).

    Allah SWT tidak memberikan ancaman sekeras ini untuk dosa lain selain riba. Dalam Al-Quran, Allah dan Rasul-Nya secara eksplisit mengumumkan "perang" terhadap para pelaku riba.

    Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya...” (QS. Al-Baqarah: 278-279).

    Ancaman perang ini bukanlah metafora yang abstrak. Di era modern, perang ini hadir dalam bentuk krisis kesehatan mental. Sebuah studi dalam An Nuqud Journal (2023) yang meneliti dampak riba pada pinjaman online (pinjol) membuktikan hal ini secara gamblang.

    Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa riba pada pinjaman online secara nyata telah menimbulkan dampak buruk terhadap psikologis masyarakat. Dampak tersebut mencakup stres, depresi, panik, gelisah, malu, bingung, takut, tegang, dan menyesal.

    Tekanan mental saat berhadapan dengan penagih utang, bunga yang terus berbunga, dan rasa malu adalah bentuk hasil dari perang  yang dijanjikan Allah. Menghindari riba adalah langkah pertama dan utama untuk menyelamatkan kesehatan mental dan finansial Anda.

  2. Utang Yang Konsumtif Membuat Jiwa "Tergantung" di Dunia dan Akhirat

    Kesalahan kedua adalah bermudah-mudah dalam berutang, terutama utang untuk kebutuhan konsumtif yang tidak mendesak. Islam memandang utang sebagai beban yang sangat serius, tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat.

    Bahaya utang ini begitu besar sehingga Rasulullah SAW memberikan peringatan keras. Beliau bersabda:

    Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung (tergantung) dengan sebab utangnya, sampai utang itu dilunasi.” (HR. Tirmidzi & Ibnu Majah).

    Istilah "tergantung" menunjukkan bahwa urusannya tertahan di akhirat, tidak bisa melanjutkan ke surga meski ia mati syahid, hingga utangnya diselesaikan.

    Keseriusan ini juga tercermin dalam sebuah hadits Shahih Bukhari, di mana Rasulullah SAW enggan menshalatkan jenazah seorang sahabat yang memiliki utang dua dinar, hingga sahabat lain (Abu Qatadah) menjamin untuk melunasinya.

    Utang konsumtif merampas ketenangan Anda di dunia dalam bentuk stres dan kecemasan, serta mengancam keselamatan Anda di akhirat. Ini adalah kondisi yang merusak ketenangan di dunia dan akhirat.

  3. Boros dan Berlebihan dalam Melakukan Pengeluaran

    Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan (tawazun). Jika riba dan utang adalah kesalahan dalam memasukkan harta, maka Israf (berlebihan) dan Tabzir (menghamburkan/boros) adalah kesalahan dalam mengeluarkannya.

    Allah SWT mengecam keras perilaku menghambur-hamburkan harta untuk hal yang tidak bermanfaat. Peringatan ini tertuang jelas dalam Surah Al-Isra':

    “...dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra’: 26-27).

    Di era digital, Tabzir memiliki wajah baru yaitu perilaku konsumtif impulsif. Pemicu psikologis utamanya adalah FOMO (Fear of Missing Out). Studi lain pada tahun 2024 secara spesifik menghubungkan FOMO dan media sosial dengan dampak perilaku konsumtif yang berujung pada kerusakan kesehatan mental dan keuangan. Mengikuti FOMO yang berujung pada Israf adalah bentuk perbudakan mental yang merusak kesejahteraan finansial dan psikologis.

  4. Berperilaku Kikir yang Menjadi Penyakit Hati

    Di ujung spektrum yang berlawanan dari boros adalah kikir. Ini adalah kesalahan finansial yang sama merusaknya, namun berasal dari penyakit hati. Kikir adalah menahan harta secara berlebihan, terutama menahan hak-hak orang lain yang ada di dalamnya, seperti Zakat.

    Zakat bukan biaya atau pajak, melainkan Rukun Islam. Allah SWT secara eksplisit menyebut Zakat sebagai penyucian.

    Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan (tathir) dan menyucikan (tazkiyah) mereka...” (QS. At-Taubah: 103).

    Fungsi Zakat ada dua: Tathir (pembersih harta dari hak orang lain) dan Tazkiyah (penyucian jiwa dari penyakit kikir, tamak, dan cinta dunia). Kesalahan finansial dari kikir adalah menolak ketetapan yang Allah berikan untuk kesehatan jiwa kita.

    Menjadi kikir berarti Anda tidak hanya menyimpan harta yang kotor (belum dizakati), tetapi juga secara aktif menolak resep Allah untuk mencapai jiwa yang lebih sehat dan tenang.

  5. Salah Memahami Tawakal

    Kesalahan kelima adalah kesalahpahaman konsep Tawakal (berserah diri). Banyak yang terjebak dalam Tawaakul (pasrah pasif), berpikir bahwa rezeki sudah diatur sehingga tidak perlu membuat perencanaan keuangan.

    Sikap ini secara langsung bertentangan dengan ajaran Rasulullah SAW. Tawakal adalah proses dua langkah: Usaha (Ikhtiar) terlebih dahulu, baru berserah diri. Ini terangkum dalam hadits terkenal tentang unta:

    Seorang pria bertanya, ‘Wahai Rasulullah, haruskah aku mengikat untaku lalu bertawakkal, atau aku biarkan lepas dan bertawakkal?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Ikatlah untamu, lalu bertawakallah!’” (HR. Tirmidzi).

    Perintah "Ikatlah untamu!" adalah mandat untuk melakukan Ikhtiar. Di era keuangan modern, "mengikat unta" adalah bentuk perencanaan keuangan yang bijak.

    Bentuk Ikhtiar finansial modern meliputi seperti :

    • Menyusun anggaran (budgeting) harian dan bulanan.

    • Membangun dana darurat untuk menghadapi krisis.

    • Menyusun tujuan keuangan yang jelas (misal: haji, pendidikan anak).

    • Mengelola dan meminimalkan utang.

    • Berinvestasi pada instrumen syariah yang produktif.

    Tidak memiliki rencana keuangan, tidak punya dana darurat, dan hidup dari gaji ke gaji tanpa anggaran adalah bentuk kegagalan dalam "mengikat unta". Ini adalah sikap tawakal yang keliru dan merupakan kesalahan teologis yang membuat kita sangat rentan terhadap empat kesalahan lainnya (riba, Utang, boros, dan Kikir).

Baca Juga : 4 Cara Mengatur Keuangan Menurut Islam

Menghindari riba, utang konsumtif, Boros, kikir, dan tawaakul bukanlah bertujuan untuk menjadi kaya raya. Tujuannya adalah untuk menjadi sejahtera secara mental, spiritual, dan finansial.

Ini adalah ikhtiar kita untuk mencapai kesejahteraan finansial secara holistik. Dengan menjaga kesehatan finansial, kita sedang menjalankan amanah Hifz al-Mal dan membangun fondasi yang kokoh untuk meraih kesejahteraan sejati di dunia dan akhirat.

Ingin memperluas wawasan Anda dengan artikel serupa? Kunjungi Sharia Knowledge Center dan temukan berbagai insight menarik seputar ekonomi serta keuangan syariah untuk menambah pengetahuan Anda.

Sumber :